viernes, 6 de diciembre de 2013

Into the Wild

Saya selalu menyukai film yang memberi saya inspirasi. "Into The Wild" salah satunya. Pertama kali membaca sinopsisnya, sekitar 5 tahun lalu, saya langsung mencatatnya dalam daftar "wajib ditonton". Enggak cuma itu, soundtrack di film ini juga bikin saya rela menontonnya berulang-ulang. Sean Penn, sang sutradara, tahu betul kalau figur dan karya dari Eddie Vedder di film ini memberikan daya tarik tersendiri buat para penonton. 

Paling tidak ada beberapa quote inspiratif di film ini, yang saya dapat dari beberapa sumber. Quote dari tokoh utama, Cristopher McCandless, berikut ini mungkin bisa jadi motivasi, buat sekali saja seumur hidup pergi menjelajah sendiri, menyapa sisi lain dunia.


The sea's only gifts are harsh blows, and occasionally the chance to feel strong. Now I don't know much about the sea, but I do know that that's the way it is here. And I also know how important it is in life not necessarily to be strong but to feel strong. To measure yourself at least once. To find yourself at least once in the most ancient of human conditions. Facing the blind deaf stone alone, with nothing to help you but your hands and your own head.

Some people feel like they don't deserve love. They walk away quietly into empty spaces, trying to close the gaps of the past.


 I read somewhere... how important it is in life not necessarily to be strong... but to feel strong

 The core of mans' spirit comes from new experiences. 

You don't need human relationships to be happy, God has placed it all around us.

martes, 5 de noviembre de 2013

Traktat Anti-Spionase

Pada Sidang Umum PBB ke 68 lalu (24/9), Presiden Brasil, Dilma Rouseff, mengecam keras aksi spionase yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap negerinya. Dalam pernyataanya disebutkan "tidak dapat diterima aksi ilegal yang dilakukan secara berulang-, dan seolah-olah hal itu merupakan aksi yang normal dilakukan". 

Pernyataan keras juga datang dari Kanselir Jerman, Angela Merkel. Bahkan kemarahan sang kanselir secara langsung disampaikan kepada Barack Obama, setelah terungkapnya aksi penyadapan terhadap telepon seluler pribadi Merkel yang dilakukan oleh Agensi Keamanan Nasional AS (NSA), melalui fasilitas kedutaan AS di Berlin. Belakangan terungkap pula aksi penyadapan terhadap para pemimpin negara lain, seperti Perancis, Spanyol, Mexico dan Indonesia.

Aksi spionase oleh NSA ini terbongkar setelah Edward Snowden, mantan analis badan rahasia AS yang membelot, membocorkan kepada publik tentang aksi spionase negeri Paman Sam melalui surat kabar Inggris,The Guardian.

Efek Spionase
Dalam pergaulan internasional segala bentuk aksi spionase tidak dapat diterima, apapun alasannya. Belajar dari perang dingin (1947 - 1991) yang sejatinya bukan hanya perang antar blok negara penganut ideologi komunis dan kapitalis, namun juga merupakan rivalitas antar berbagai badan dinas rahasia (Historia Universal Contemporanea, Pelai Pages i Blanch, 2013). Pada masa itu, cara kerja dan operasi yang dilakukan oleh sejumlah badan rahasia (KGB dan CIA) hampir selalu menggunakan aksi spionase dan infiltrasi. Akibatnya, muncul kecurigaan antar negara yang memicu ketegangan dalam skala global.

Dalam konteks hubungan internasional dan diplomasi, paling tidak ada beberapa efek dari aksi spionase. Pertama, spionase merupakan tindakan ilegal yang mengancam hak asasi manusia dan kedaulatan negara. Jelas sekali, bahwa spionase melanggar Pakta Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik pasal 12 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 17, atas hak individu untuk mendapatkan perlindungan privasi dan kebebasan dari segala macam intervensi ilegal terhadap diri individu itu sendiri, keluarganya, tempat tinggalnya, dan dalam hubungan korespondensi. Demikian halnya bahwa spionase juga melanggar kedaulatan negara yang menjadi objek operasi, karena cakupan operasinya yang lintas negara.

Kedua, spionase membawa efek meningkatnya kecurigaan dan merusak kepercayaan antar negara. Dalam kasus penyadapan saluran telekomunikasi beberapa pemimpin negara oleh NSA, membawa dampak hubungan diplomatik antara AS dengan negara-negara di kawasan Uni Eropa, Amerika Latin, dan Asia menjadi merenggang.

Brasil dengan tegas akan meningkatkan upaya dalam membangun sistem dan mekanisme perlindungan baru atas privasi data warga negaranya melalui pemberlakuan undang-undang yang lebih ketat. Selain itu, protes keras dari Jerman dan Spanyol dilakukan dengan memanggil duta besar AS untuk memperoleh penjelasan terkait penyadapan terhadap beberapa pejabat publiknya.Hal serupa dilakukan oleh Indonesia terhadap duta besar Australia dalam kasus yang sama.

Ketiga, meregangnya hubungan diplomatik dan meningkatnya kecurigaan memicu pengembangan teknologi keamanan yang lebih canggih dan mutakhir oleh dinas rahasia masing-masing negara (cyber war). Perang di jagad maya akan semakin "lazim" terjadi dan dipastikan efek merusaknya tidak kalah dengan perang fisik. Bukan tidak mungkin, dengan dunia yang semakin terkoneksi melalui jaringan internet, peri kehidupan manusia bisa ikut terancam.

Urgensi Traktat Anti-spionase
Melihat efek dari aktivitas spionase tersebut, perlu langkah nyata dari komunitas internasional untuk segera membuat aturan yang mencegah aksi spionase terus terjadi.Langkah Brasil dan Jerman yang mengusulkan resolusi atas perlindungan hak atas privasi di era digital, melalui Komisi Hak Asasi Manusia di Sidang Umum PBB harus dipandang sebagai langkah maju dan pintu masuk untuk melegalkan resolusi ini menjadi aturan yang lebih mengikat. Aturan disini dapat diartikan dengan penetapan traktat anti-spionase.

Ada beberapa makna penting penetapan traktat anti-spionase. Pertama, traktat diatur oleh hukum internasional, sehingga memiliki cakupan yang luas dan merupakan alat untuk membangun kerjasama yang mengedepankan perdamaian antar bangsa. Kedua, dari sudut pandang hukum, sampai sekarang belum ada aturan tertulis di lingkup internasional yang melarang kegiatan spionase antar negara, sehingga tidak ada sanksi hukum bagi negara yang melakukannya. Ketiga, traktat memuat hak dan kewajiban serta memiliki kekuatan hukum bagi negara yang telah meratifikasi maupun yang belum meratifikasi sejauh traktat itu mengandung aturan yang lazim, merepresentasikan kepentingan bersama oleh sekumpulan negara yang memenuhi syarat representatif, dan terlembaga dalam organisasi internasional (Curso de Derecho Internacional Público y Organizaciones Internacionales, José A. Pastor Ridruejo, 2013)

Mustahil membangun hubungan diplomasi yang harmonis jika aksi spionase masih dilakukan. Karena itu melalui traktat anti-spionase ini diharapkan hubungan antar negara lebih mengedepankan rasa saling percaya, jauh dari prasangka dan curiga.





sábado, 31 de agosto de 2013

Black

I know someday you'll have a beautiful life,
I know you'll be a star in somebody else's sky,
But why, why, why can't it be, can't it be mine?
 (Black, Ten Album 1991)

Andaikan saja Eddie Vedder berada didekat saya saat ini, ingin sekali menanyakan apa yang dia rasakan saat menulis Black. Perasaan seperti apa yang berkecamuk didalam hatinya saat itu, sampai bisa menciptakan lagu sekelam ini. Atau barangkali pertanyaan mengenai kejadian/peristiwa yang dia alami dan kemudian memberinya inspirasi untuk menulis lirik Black yang begitu muram. Pasti ada alasan mengapa lagu ini penuh dengan rasa kehilangan yang begitu dalam, tentang kenangan indah yang hilang, tentang satu pertanyaan besar yang entah kapan menemukan jawabannya. 

Tidak ada alasan khusus mengapa saya tiba-tiba menulis opini bebas tentang lagu ini. Terlintas begitu saja di dikepala saat memainkan Black dengan gitar akustik 5 strings(satu senarnya putus..hehe). Kesan yang muncul ketika saya mendengar lagu ini pertama kali adalah how cruel life is! Apalagi dibawakan dengan vokal bariton ala Eddie Vedder yang berat, nuansa muram dan derita kehilangan begitu terasa mewarnai seluruh lagu. Perhatikan saja sebaris liriknya berikut ini, 

All the love gone bad, turned my world to black
Tattooed all I see, all that I am, all I'll be …

Tapi bagi saya meski bertutur soal pedihnya kehilangan ini bukanlah lagu cinta berhias romansa. Buktinya, paling tidak hanya ada satu kata “love” tertulis di lagu ini.  Disamping itu, kejeniusan Eddie cs meng-aransemen Black membuat siapapun yang mendengarkannya, tidak perlu merasa muak dengan kisah cinta yang mengharu biru. 

Dan setelah bait terakhir lagu atau menjelang fade out, Eddie sering menambahkan sebaris lirik ini saat Pearl Jam memainkan Black secara live …we belong together…together… Yang menurut saya, ini lebih terdengar seperti ratapan rasa kehilangan yang begitu dalam.



lunes, 26 de agosto de 2013

…And Metallica for All

“Ngapain lu nonton Metallica, emang lu ngerti musiknya?”

Pertanyaan bernada sinis ini berasal dari salah satu kolega beberapa hari yang lalu. Tentu saja pertanyaan ini ditujukan kepada saya. Pertanyaan sampah!  Pikir saya saat itu. Tapi buru-buru saya buang umpatan-umpatan yang hampir saja meluncur  dibalik lidah. Atas nama etika berkomunikasi saya tetap mencoba menjawab pertanyaan ini sesopan mungkin. Maklum, kolega yang satu ini usianya jauh lebih tua diatas saya.

Oh, gua udah dengerin musiknya Metallica dari SMP Mas. Waktu jaman kaset masih pake pita” jawab saya setengah bercanda.  Rupanya jawaban ini membuatnya terdiam sejenak. Lalu, entah paham atau tidak dia hanya bergumam “Wah, udah lama juga ya. Saya sih lebih suka musik pop, jadi gak suka sama yang metal-metal gitu”  D**n you! (keluar juga deh curahan hati…hehe)

Tapi saya harus mengakui bahwa akhirnya pertanyaan ini membuat saya untuk kembali mengingat pada satu era lebih dari satu dekade lalu. Satu era dimana banyak muncul karya musik yang “pantas buat didengar”. Dan perkenalan saya dengan Metallica terjadi saat itu. 

Usia saya masih 13 tahun. Dan tidak perlu waktu lama buat mengenal musik dari punggawa heavy metal ini. Saat itu masih banyak radio yang rajin memutar lagu cadas dari Kirk Hammet cs dan juga MTV yang masih rajin menayangkan video clip mereka. Ditambah lagi salah seorang kerabat yang memang doyan banget sama musik-musik cadas. Jadilah setiap pagi kuping dipaksa buat menikmati sajian musik “gedombrang-gedombreng”, istilah yang dipakai Ibu saya buat mendefinisikan jenis musik ini. Efek “sarapan pagi spesial” ini membuat saya cepat mengenal “ Sad but True” atau “The Unforgiven”. Saya ingat, dulu girang banget kalo bisa melihat video clip Metallica nongol di MTV. Maklumlah, jaman itu internet apalagi Youtube belum dikenal seperti sekarang. Jadi praktis hanya lewat surat kabar atau majalah serta siaran radio dan televisi akses informasi mengenai Metallica diperoleh. Berita mengenai kerusuhan yang terjadi pada konser mereka pada tahun 1993 silam, saya dapat dari Majalah Tempo. Kerusuhan yang membuat Pak Harto naik pitam kala itu. Porsi pemberitaannya pun tidak banyak, kalah dengan berita soal Perang Teluk yang memang menyita perhatian media massa diseluruh dunia.

Minimnya media untuk mengakses informasi terkini tentang Metallica tak menyurutkan minat untuk mengkoleksi álbum mereka. Satu persatu album pun terbeli dari uang hasil bongkar celengan dan malak pas lebaran!. Kill `em All menjadi koleksi pertama yang nangkring di rak kaset. Formatnya masih kaset pita. Menyusul kemudian ..And Justice for All, Black Album, Load, dan Reload. Pas masuk SMA, gabung sama kawan-kawan yang ternyata punya irama yang sama, Rock!. Mulailah coba nongkrong di studio musik dan memainkan satu-dua lagu milik Metallica macam Enter Sandman atau Fade to Black. Sampai-sampai memilih membawakan lagu Nothing Else Matters didepan kelas saat ujian mata pelajaran kesenian! Yeah! \m/


(Dok: www.tempo.com)

It has been 20 years man!
Kerusuhan yang terjadi pada konser Metallica di Stadion Lebak Bulus 20 tahun silam memang tidak begitu saja dilupakan. Jadi enggak heran kalau isu keamanan menjadi perhatian utama pihak penyelanggara yang menggelar konser Metallica pada Minggu (25/8) malam kemarin. Bahkan  Blackrock Entertainment selaku promotor menerjunkan 3.000 pasukan pengamanan selama konser berlangsung. Pengamanan yang ketat memang terasa mulai dari pintu masuk. Nampaknya penyelenggara enggak mau kecolongan lagi kali ini.
Saya sih enggak mau ambil pusing soal ketatnya pengamanan. Saya cuma mau bersenang-senang bareng 55.000 metalheads yang kemarin sore datang ke Gelora Bung Karno. Sebagian besar dari mereka tongkrongannya memang jauh dari kesan “manis”. Tapi ditengah cuaca Jakarta yang memang lagi panas-panasnya, dan diantara barisan antrian tiket yang entah dimana ujungnya saya masih bisa merasakan semangat sportifitas para metalheads buat berperilaku tertib. Tampang sih boleh gahar, tapi tetap sadar bahwa perilaku tertib itu indah.

So, lupakan bengisnya kerusuhan 20 tahun silam. Kesiapan yang matang dari penyelenggara dan sikap penonton yang asyik menjadikan hajatan metal kemarin menjadi momen yang meninggalkan kesan tersendiri. Tidak hanya buat para metalheads, tapi juga buat Metallica. “I can`t believe it. It has been twenty years man!” seru James Hetfield, sang frontman yang masih tampak gahar di usianya yang menginjak kepala 5. Malam itu GBK memang milik Metallica. Energi yang mereka semburkan dari 18 lagu yang mereka mainkan selama 90 menit berhasil membuat tangan-tangan mengepal dan terangkat keatas, berteriak, dan kompak koor bersama. Hajatan dibuka dengan hantaman Hit the Lights, Master of the Puppets, dan Fuel. Penonton yang semula duduk manis langsung ambil posisi tempur, head banging serempak! Dengan reputasi sebagai band metal kelas dunia, Metallica sudah paham benar bagaimana mengendalikan emosi massa. Saat energi massa yang sudah lumayan terkuras, mereka mampu mengembalikan semangat lewat Enter Sandman. Gemuruh massa sontak kembali beringas. Sepanjang lagu kompak massa koor bersama.  Dan menurut saya, inilah klimaks hajatan metal malam ini.

Diakhir panggung, Lars Ulrich sempat berseru “We will back again Jakarta” serunya yang disambut dengan tepuk tangan para metalheads. Seruan yang menurut saya memberi harapan, bahwa tidak perlu menunggu 20 tahun untuk mereka kembali menggelar panggung di Indonesia.



viernes, 16 de agosto de 2013

Romo

Algún día pasado visite un amigo viejo. Era un mentor en ciencia periodística  cuando yo era el editor del  tabloide local. Trabajemos juntos para manejar este tabloide hace 3 años. Le dicen los compañeros como “Romo ” debido a su antecedentes académicos católicos.Romo es el nombre para la santa en la tradición católica. Cuando era joven estudiaba en el seminario católico para que fuera sacerdote. Sin embargo en el medio de su estudio se decidió para dejar el seminario para ser el periodista. Esta opción le da una gira sin final.

Durante dicho tiempo no tengo duda  que él es una persona con tanta experiencia en periodismo. Fue el periodista de un periódico local que ya escribió varias noticias con respecto a la política internacional. Hace 20 años se dedico su vida para buscar las informaciones vinculadas a los temas de la diplomacia así como los de  asuntos exteriores. Por tanto tuvo una buena red social entre los consulados extranjeros en Indonesia así como obtuvo alguna oportunidad para irse al extranjero de informar las jornadas internacionales. A pesar de no ser el periodista más sigue escribiendo su idea en varios periódicos. 

Me acorde que me pidió para acompañarlo en varias jornadas que se celebraron por las embajadas.  El motivo de venir no fue solamente para entrevistar  con los diplomáticos sino a ampliar la red social. “A ser un buen periodista no se trata de poder escribir una noticia fantástica.  Lo más importante es ganar amigo mucho más. Es porque trabajamos con una red social” me dijo. Me dio muchas lecciones con respecto al periodismo con las que aprendo para ser un periodista con una habilidad profesional. Gracias Romo

Lucha Por Tus Sueños (primer parte)

De verdad estaba muy contento cuando me ha puesto en contacto el presidente de la Asociación del Estudiante Indonesio en España. Me ofreció una oportunidad de escribir un artículo sobre la experiencia personal de preparar el estudio con una beca del gobierno indonesio. Desde luego estoy interesado en esta oferta. Puedo compartir toda mi experiencia tanto sobre el paso de solicitar unas becas como sobre la preparación de estudios. Deseo que pueda proveer este articulo una información profunda para los estudiantes indonesios que quieren estudiar a la universidad extranjera, particularmente los que estudiaran a la universidad española.
Pues, se comenzó  todo por un sueno de estudiar a la universidad extranjera. Hace 4 años pasados tenía muchas ganas para estudiar al centro de estudios en otros países. Fue algún programa de beca con lo que yo deseaba estudiar máster a un centro de estudio en europea. Solicite todo eso pero la suerte no venia conmigo todavía. En ese momento por lo menos había siete solicitudes de beca y todas se rechazaron! Me sentía tan deprimido. Ya hice de todo pero nada funciono, me daba por vencido. Yo creía que no me merecía ninguna beca, no merecía nada!

Los fracasos me hacían olvidar los sueños. Todo  lo que quería hacer fue trabajar para ganar mucho dinero y nada más. En ese momento pensaba que ya perdí tanto tiempo para nada. Hasta un día me llego un amigo que me decía sobre su éxito en obteniendo una beca completa para estudiar máster en la universidad española. Yo recuerdo cuando me decía “nada es imposible si tú creas en tu sueño”. Esta palabra me provoco para luchar de nuevo. Puede obtener una beca, porque no puedo?


Desde entonces tenía mucho ánimo para buscar toda información con respecto a la beca. Encontré una energía nueva para hacer todo. Fue una energía positiva con la que puedo realizar los trabajos sin descanso. Yo empecé con una búsqueda de la información tanto por internet como por una red social del estudiante que están estudiando en los países europeos.

En primer paso hay que recordar que poner en contacto con la universidad es imprescindible. Según mi experiencia lo más importante es poner en contacto con los profesores que serán los preceptores durante el estudio y sobre todo con lo que puede tener el solicitante una carta de aceptación de la universidad. Cabe mencionar que el proceso de obtener esta carta será diferente entre las universidades. Hay una universidad que solamente pide al solicitante algunos documentos académicos vía el formulario online sin la prueba escrita o la entrevista pero a otro lado hace falta de llevar a cabo la prueba escrita/ entrevista en alguna universidad para obtener la carta de aceptación. Esta carta se funcionara a la vez el solicitante completa los documentos exigidos. Tendrá prioridad de recibir una beca el solicitante que haya tenido esta carta... (Ser continuado)

viernes, 28 de junio de 2013

Memperkuat Nilai Kebangsaan Melalui Kepemimpinan yang Berkapasitas dan Berkarakter

Memasuki hari ke tiga program kepemimpinan LPDP 2013 Batch 2 (28/6), tema materi semakin beragam dan "berat". Sesi pertama pagi, peserta diajak untuk memperdalam nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang dipaparkan oleh Mayjen TNI Purnawirawan Imam Marsudi dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).   Pemaparan dibuka dengan penjelasan bahwa Indonesia merupakan bangsa majemuk, beragam, yang disatukan dengan konsensus. Ada empat konsensus dalam kehidupan bernegara, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. 

Menurut Imam, pemantapan nilai-nilai kebangsaan itu penting karena akan menguatkan kesadaran kebangsaan untuk membangun tanah Indonesia dan menumbuhkan kecintaan dan mengutamakan kepentingan bangsa sendiri. 

Diskusi sempat rehat sejenak untuk memberikan kesempatan kepada peserta menikmati coffee break. Tak lama, diskusi dilanjutkan dengan sesi kedua. Kali ini narasumber yang diundang adalah salah seorang sosiolog dari Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo. Tokoh yang kerap tampil di layar kaca ini, memberikan materi mengenai kepemimpinan. Menurut Imam, dua hal yag paling penting dimiliki oleh seorang pemimpin adalah kapasitas dan karakter. Kapasitas penting dimiliki karena merupakan kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan, sedangkan karakter akan menentukan sebuah tindakan. Pemimpin sendiri berarti seseorang yang memiliki kemampuan yang menggerakkan orang lain untuk ikut serta dalam kegiatan yang terencana dengan visi untuk melakukan perubahan nyata kearah kehidupan bersama yang lebih baik dengan memberikan motivasi tanpa kekerasan.

Seorang pemimpin bangsa itu harus memiliki visi kebangsaan. Karena itu untuk menumbuhkan visi kebangsaan pemimpin membutuhkan paling tidak beberapa prasyarat, yaitu civic nationalism, multikulturalisme, inter-group understanding, serta mediation & conflict resolution. Selain itu karakter yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin paling tidak adalah adil, jujur dan bertanggung jawab.