Pada Sidang Umum PBB ke 68 lalu (24/9), Presiden Brasil, Dilma Rouseff, mengecam keras aksi spionase yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap negerinya. Dalam pernyataanya disebutkan "tidak dapat diterima aksi ilegal yang dilakukan secara berulang-, dan seolah-olah hal itu merupakan aksi yang normal dilakukan".
Pernyataan keras juga datang dari Kanselir Jerman, Angela Merkel. Bahkan kemarahan sang kanselir secara langsung disampaikan kepada Barack Obama, setelah terungkapnya aksi penyadapan terhadap telepon seluler pribadi Merkel yang dilakukan oleh Agensi Keamanan Nasional AS (NSA), melalui fasilitas kedutaan AS di Berlin. Belakangan terungkap pula aksi penyadapan terhadap para pemimpin negara lain, seperti Perancis, Spanyol, Mexico dan Indonesia.
Aksi spionase oleh NSA ini terbongkar setelah Edward Snowden, mantan analis badan rahasia AS yang membelot, membocorkan kepada publik tentang aksi spionase negeri Paman Sam melalui surat kabar Inggris,The Guardian.
Efek Spionase
Dalam pergaulan internasional segala bentuk aksi spionase tidak dapat diterima, apapun alasannya. Belajar dari perang dingin (1947 - 1991) yang sejatinya bukan hanya perang antar blok negara penganut ideologi komunis dan kapitalis, namun juga merupakan rivalitas antar berbagai badan dinas rahasia (Historia Universal Contemporanea, Pelai Pages i Blanch, 2013). Pada masa itu, cara kerja dan operasi yang dilakukan oleh sejumlah badan rahasia (KGB dan CIA) hampir selalu menggunakan aksi spionase dan infiltrasi. Akibatnya, muncul kecurigaan antar negara yang memicu ketegangan dalam skala global.
Dalam konteks hubungan internasional dan diplomasi, paling tidak ada beberapa efek dari aksi spionase. Pertama, spionase merupakan tindakan ilegal yang mengancam hak asasi manusia dan kedaulatan negara. Jelas sekali, bahwa spionase melanggar Pakta Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik pasal 12 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 17, atas hak individu untuk mendapatkan perlindungan privasi dan kebebasan dari segala macam intervensi ilegal terhadap diri individu itu sendiri, keluarganya, tempat tinggalnya, dan dalam hubungan korespondensi. Demikian halnya bahwa spionase juga melanggar kedaulatan negara yang menjadi objek operasi, karena cakupan operasinya yang lintas negara.
Kedua, spionase membawa efek meningkatnya kecurigaan dan merusak kepercayaan antar negara. Dalam kasus penyadapan saluran telekomunikasi beberapa pemimpin negara oleh NSA, membawa dampak hubungan diplomatik antara AS dengan negara-negara di kawasan Uni Eropa, Amerika Latin, dan Asia menjadi merenggang.
Brasil dengan tegas akan meningkatkan upaya dalam membangun sistem dan mekanisme perlindungan baru atas privasi data warga negaranya melalui pemberlakuan undang-undang yang lebih ketat. Selain itu, protes keras dari Jerman dan Spanyol dilakukan dengan memanggil duta besar AS untuk memperoleh penjelasan terkait penyadapan terhadap beberapa pejabat publiknya.Hal serupa dilakukan oleh Indonesia terhadap duta besar Australia dalam kasus yang sama.
Ketiga, meregangnya hubungan diplomatik dan meningkatnya kecurigaan memicu pengembangan teknologi keamanan yang lebih canggih dan mutakhir oleh dinas rahasia masing-masing negara (cyber war). Perang di jagad maya akan semakin "lazim" terjadi dan dipastikan efek merusaknya tidak kalah dengan perang fisik. Bukan tidak mungkin, dengan dunia yang semakin terkoneksi melalui jaringan internet, peri kehidupan manusia bisa ikut terancam.
Urgensi Traktat Anti-spionase
Melihat efek dari aktivitas spionase tersebut, perlu langkah nyata dari komunitas internasional untuk segera membuat aturan yang mencegah aksi spionase terus terjadi.Langkah Brasil dan Jerman yang mengusulkan resolusi atas perlindungan hak atas privasi di era digital, melalui Komisi Hak Asasi Manusia di Sidang Umum PBB harus dipandang sebagai langkah maju dan pintu masuk untuk melegalkan resolusi ini menjadi aturan yang lebih mengikat. Aturan disini dapat diartikan dengan penetapan traktat anti-spionase.
Ada beberapa makna penting penetapan traktat anti-spionase. Pertama, traktat diatur oleh hukum internasional, sehingga memiliki cakupan yang luas dan merupakan alat untuk membangun kerjasama yang mengedepankan perdamaian antar bangsa. Kedua, dari sudut pandang hukum, sampai sekarang belum ada aturan tertulis di lingkup internasional yang melarang kegiatan spionase antar negara, sehingga tidak ada sanksi hukum bagi negara yang melakukannya. Ketiga, traktat memuat hak dan kewajiban serta memiliki kekuatan hukum bagi negara yang telah meratifikasi maupun yang belum meratifikasi sejauh traktat itu mengandung aturan yang lazim, merepresentasikan kepentingan bersama oleh sekumpulan negara yang memenuhi syarat representatif, dan terlembaga dalam organisasi internasional (Curso de Derecho Internacional Público y Organizaciones Internacionales, José A. Pastor Ridruejo, 2013)
Mustahil membangun hubungan diplomasi yang harmonis jika aksi spionase masih dilakukan. Karena itu melalui traktat anti-spionase ini diharapkan hubungan antar negara lebih mengedepankan rasa saling percaya, jauh dari prasangka dan curiga.