sábado, 31 de agosto de 2013

Black

I know someday you'll have a beautiful life,
I know you'll be a star in somebody else's sky,
But why, why, why can't it be, can't it be mine?
 (Black, Ten Album 1991)

Andaikan saja Eddie Vedder berada didekat saya saat ini, ingin sekali menanyakan apa yang dia rasakan saat menulis Black. Perasaan seperti apa yang berkecamuk didalam hatinya saat itu, sampai bisa menciptakan lagu sekelam ini. Atau barangkali pertanyaan mengenai kejadian/peristiwa yang dia alami dan kemudian memberinya inspirasi untuk menulis lirik Black yang begitu muram. Pasti ada alasan mengapa lagu ini penuh dengan rasa kehilangan yang begitu dalam, tentang kenangan indah yang hilang, tentang satu pertanyaan besar yang entah kapan menemukan jawabannya. 

Tidak ada alasan khusus mengapa saya tiba-tiba menulis opini bebas tentang lagu ini. Terlintas begitu saja di dikepala saat memainkan Black dengan gitar akustik 5 strings(satu senarnya putus..hehe). Kesan yang muncul ketika saya mendengar lagu ini pertama kali adalah how cruel life is! Apalagi dibawakan dengan vokal bariton ala Eddie Vedder yang berat, nuansa muram dan derita kehilangan begitu terasa mewarnai seluruh lagu. Perhatikan saja sebaris liriknya berikut ini, 

All the love gone bad, turned my world to black
Tattooed all I see, all that I am, all I'll be …

Tapi bagi saya meski bertutur soal pedihnya kehilangan ini bukanlah lagu cinta berhias romansa. Buktinya, paling tidak hanya ada satu kata “love” tertulis di lagu ini.  Disamping itu, kejeniusan Eddie cs meng-aransemen Black membuat siapapun yang mendengarkannya, tidak perlu merasa muak dengan kisah cinta yang mengharu biru. 

Dan setelah bait terakhir lagu atau menjelang fade out, Eddie sering menambahkan sebaris lirik ini saat Pearl Jam memainkan Black secara live …we belong together…together… Yang menurut saya, ini lebih terdengar seperti ratapan rasa kehilangan yang begitu dalam.



lunes, 26 de agosto de 2013

…And Metallica for All

“Ngapain lu nonton Metallica, emang lu ngerti musiknya?”

Pertanyaan bernada sinis ini berasal dari salah satu kolega beberapa hari yang lalu. Tentu saja pertanyaan ini ditujukan kepada saya. Pertanyaan sampah!  Pikir saya saat itu. Tapi buru-buru saya buang umpatan-umpatan yang hampir saja meluncur  dibalik lidah. Atas nama etika berkomunikasi saya tetap mencoba menjawab pertanyaan ini sesopan mungkin. Maklum, kolega yang satu ini usianya jauh lebih tua diatas saya.

Oh, gua udah dengerin musiknya Metallica dari SMP Mas. Waktu jaman kaset masih pake pita” jawab saya setengah bercanda.  Rupanya jawaban ini membuatnya terdiam sejenak. Lalu, entah paham atau tidak dia hanya bergumam “Wah, udah lama juga ya. Saya sih lebih suka musik pop, jadi gak suka sama yang metal-metal gitu”  D**n you! (keluar juga deh curahan hati…hehe)

Tapi saya harus mengakui bahwa akhirnya pertanyaan ini membuat saya untuk kembali mengingat pada satu era lebih dari satu dekade lalu. Satu era dimana banyak muncul karya musik yang “pantas buat didengar”. Dan perkenalan saya dengan Metallica terjadi saat itu. 

Usia saya masih 13 tahun. Dan tidak perlu waktu lama buat mengenal musik dari punggawa heavy metal ini. Saat itu masih banyak radio yang rajin memutar lagu cadas dari Kirk Hammet cs dan juga MTV yang masih rajin menayangkan video clip mereka. Ditambah lagi salah seorang kerabat yang memang doyan banget sama musik-musik cadas. Jadilah setiap pagi kuping dipaksa buat menikmati sajian musik “gedombrang-gedombreng”, istilah yang dipakai Ibu saya buat mendefinisikan jenis musik ini. Efek “sarapan pagi spesial” ini membuat saya cepat mengenal “ Sad but True” atau “The Unforgiven”. Saya ingat, dulu girang banget kalo bisa melihat video clip Metallica nongol di MTV. Maklumlah, jaman itu internet apalagi Youtube belum dikenal seperti sekarang. Jadi praktis hanya lewat surat kabar atau majalah serta siaran radio dan televisi akses informasi mengenai Metallica diperoleh. Berita mengenai kerusuhan yang terjadi pada konser mereka pada tahun 1993 silam, saya dapat dari Majalah Tempo. Kerusuhan yang membuat Pak Harto naik pitam kala itu. Porsi pemberitaannya pun tidak banyak, kalah dengan berita soal Perang Teluk yang memang menyita perhatian media massa diseluruh dunia.

Minimnya media untuk mengakses informasi terkini tentang Metallica tak menyurutkan minat untuk mengkoleksi álbum mereka. Satu persatu album pun terbeli dari uang hasil bongkar celengan dan malak pas lebaran!. Kill `em All menjadi koleksi pertama yang nangkring di rak kaset. Formatnya masih kaset pita. Menyusul kemudian ..And Justice for All, Black Album, Load, dan Reload. Pas masuk SMA, gabung sama kawan-kawan yang ternyata punya irama yang sama, Rock!. Mulailah coba nongkrong di studio musik dan memainkan satu-dua lagu milik Metallica macam Enter Sandman atau Fade to Black. Sampai-sampai memilih membawakan lagu Nothing Else Matters didepan kelas saat ujian mata pelajaran kesenian! Yeah! \m/


(Dok: www.tempo.com)

It has been 20 years man!
Kerusuhan yang terjadi pada konser Metallica di Stadion Lebak Bulus 20 tahun silam memang tidak begitu saja dilupakan. Jadi enggak heran kalau isu keamanan menjadi perhatian utama pihak penyelanggara yang menggelar konser Metallica pada Minggu (25/8) malam kemarin. Bahkan  Blackrock Entertainment selaku promotor menerjunkan 3.000 pasukan pengamanan selama konser berlangsung. Pengamanan yang ketat memang terasa mulai dari pintu masuk. Nampaknya penyelenggara enggak mau kecolongan lagi kali ini.
Saya sih enggak mau ambil pusing soal ketatnya pengamanan. Saya cuma mau bersenang-senang bareng 55.000 metalheads yang kemarin sore datang ke Gelora Bung Karno. Sebagian besar dari mereka tongkrongannya memang jauh dari kesan “manis”. Tapi ditengah cuaca Jakarta yang memang lagi panas-panasnya, dan diantara barisan antrian tiket yang entah dimana ujungnya saya masih bisa merasakan semangat sportifitas para metalheads buat berperilaku tertib. Tampang sih boleh gahar, tapi tetap sadar bahwa perilaku tertib itu indah.

So, lupakan bengisnya kerusuhan 20 tahun silam. Kesiapan yang matang dari penyelenggara dan sikap penonton yang asyik menjadikan hajatan metal kemarin menjadi momen yang meninggalkan kesan tersendiri. Tidak hanya buat para metalheads, tapi juga buat Metallica. “I can`t believe it. It has been twenty years man!” seru James Hetfield, sang frontman yang masih tampak gahar di usianya yang menginjak kepala 5. Malam itu GBK memang milik Metallica. Energi yang mereka semburkan dari 18 lagu yang mereka mainkan selama 90 menit berhasil membuat tangan-tangan mengepal dan terangkat keatas, berteriak, dan kompak koor bersama. Hajatan dibuka dengan hantaman Hit the Lights, Master of the Puppets, dan Fuel. Penonton yang semula duduk manis langsung ambil posisi tempur, head banging serempak! Dengan reputasi sebagai band metal kelas dunia, Metallica sudah paham benar bagaimana mengendalikan emosi massa. Saat energi massa yang sudah lumayan terkuras, mereka mampu mengembalikan semangat lewat Enter Sandman. Gemuruh massa sontak kembali beringas. Sepanjang lagu kompak massa koor bersama.  Dan menurut saya, inilah klimaks hajatan metal malam ini.

Diakhir panggung, Lars Ulrich sempat berseru “We will back again Jakarta” serunya yang disambut dengan tepuk tangan para metalheads. Seruan yang menurut saya memberi harapan, bahwa tidak perlu menunggu 20 tahun untuk mereka kembali menggelar panggung di Indonesia.



viernes, 16 de agosto de 2013

Romo

Algún día pasado visite un amigo viejo. Era un mentor en ciencia periodística  cuando yo era el editor del  tabloide local. Trabajemos juntos para manejar este tabloide hace 3 años. Le dicen los compañeros como “Romo ” debido a su antecedentes académicos católicos.Romo es el nombre para la santa en la tradición católica. Cuando era joven estudiaba en el seminario católico para que fuera sacerdote. Sin embargo en el medio de su estudio se decidió para dejar el seminario para ser el periodista. Esta opción le da una gira sin final.

Durante dicho tiempo no tengo duda  que él es una persona con tanta experiencia en periodismo. Fue el periodista de un periódico local que ya escribió varias noticias con respecto a la política internacional. Hace 20 años se dedico su vida para buscar las informaciones vinculadas a los temas de la diplomacia así como los de  asuntos exteriores. Por tanto tuvo una buena red social entre los consulados extranjeros en Indonesia así como obtuvo alguna oportunidad para irse al extranjero de informar las jornadas internacionales. A pesar de no ser el periodista más sigue escribiendo su idea en varios periódicos. 

Me acorde que me pidió para acompañarlo en varias jornadas que se celebraron por las embajadas.  El motivo de venir no fue solamente para entrevistar  con los diplomáticos sino a ampliar la red social. “A ser un buen periodista no se trata de poder escribir una noticia fantástica.  Lo más importante es ganar amigo mucho más. Es porque trabajamos con una red social” me dijo. Me dio muchas lecciones con respecto al periodismo con las que aprendo para ser un periodista con una habilidad profesional. Gracias Romo

Lucha Por Tus Sueños (primer parte)

De verdad estaba muy contento cuando me ha puesto en contacto el presidente de la Asociación del Estudiante Indonesio en España. Me ofreció una oportunidad de escribir un artículo sobre la experiencia personal de preparar el estudio con una beca del gobierno indonesio. Desde luego estoy interesado en esta oferta. Puedo compartir toda mi experiencia tanto sobre el paso de solicitar unas becas como sobre la preparación de estudios. Deseo que pueda proveer este articulo una información profunda para los estudiantes indonesios que quieren estudiar a la universidad extranjera, particularmente los que estudiaran a la universidad española.
Pues, se comenzó  todo por un sueno de estudiar a la universidad extranjera. Hace 4 años pasados tenía muchas ganas para estudiar al centro de estudios en otros países. Fue algún programa de beca con lo que yo deseaba estudiar máster a un centro de estudio en europea. Solicite todo eso pero la suerte no venia conmigo todavía. En ese momento por lo menos había siete solicitudes de beca y todas se rechazaron! Me sentía tan deprimido. Ya hice de todo pero nada funciono, me daba por vencido. Yo creía que no me merecía ninguna beca, no merecía nada!

Los fracasos me hacían olvidar los sueños. Todo  lo que quería hacer fue trabajar para ganar mucho dinero y nada más. En ese momento pensaba que ya perdí tanto tiempo para nada. Hasta un día me llego un amigo que me decía sobre su éxito en obteniendo una beca completa para estudiar máster en la universidad española. Yo recuerdo cuando me decía “nada es imposible si tú creas en tu sueño”. Esta palabra me provoco para luchar de nuevo. Puede obtener una beca, porque no puedo?


Desde entonces tenía mucho ánimo para buscar toda información con respecto a la beca. Encontré una energía nueva para hacer todo. Fue una energía positiva con la que puedo realizar los trabajos sin descanso. Yo empecé con una búsqueda de la información tanto por internet como por una red social del estudiante que están estudiando en los países europeos.

En primer paso hay que recordar que poner en contacto con la universidad es imprescindible. Según mi experiencia lo más importante es poner en contacto con los profesores que serán los preceptores durante el estudio y sobre todo con lo que puede tener el solicitante una carta de aceptación de la universidad. Cabe mencionar que el proceso de obtener esta carta será diferente entre las universidades. Hay una universidad que solamente pide al solicitante algunos documentos académicos vía el formulario online sin la prueba escrita o la entrevista pero a otro lado hace falta de llevar a cabo la prueba escrita/ entrevista en alguna universidad para obtener la carta de aceptación. Esta carta se funcionara a la vez el solicitante completa los documentos exigidos. Tendrá prioridad de recibir una beca el solicitante que haya tenido esta carta... (Ser continuado)